Sabtu, 18 Februari 2017



Minoritas dan Teori Dominasi Sosial

Helen Mayer Hacker dalam tulisannya yang berjudul Women as a Minority Group mengambil definisi yang dikemukakan oleh Louis Wirth untuk menjelaskan istilah kelompok minoritas. Menurut Wirth, kelompok minoritas adalah sekelompok orang yang karena fisik dan karakteristik budayanya dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya sehingga mereka diasingkan serta diperlakukan dengan tidak sama dan pada akhirnya kelompok ini menganggap diri mereka sebagai objek yang didiskriminasikan (Wirth dalam Hacker:1951). 

Salah satu teori yang membahas permasalahan minoritas ini adalah Teori Dominasi Sosial (TDS) yang diformulasikan oleh Jim Sidanius dan Felicia Pratto. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Social Dominance Theory (2012) oleh Sidanius dan Pratto, teori ini memaparkan bahwa manusia mengatur kehidupan sosialnya dengan membuat kelompok-kelompok yang didasarkan pada struktur hirarkis. Ada tiga sistem perbedaan kelompok yang dijelaskan dalam teori dominasi sosial ini. Pertama adalah sistem umur, yaitu orang dewasa maupun paruh baya memiliki kekuasaan lebih terhadap anak-anak ataupun remaja. Kedua adalah sistem gender yang mengacu pada sistem patriarki dimana laki-laki secara sosial maupun politik memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan perempuan. Ketiga adalah sistem arbitrary dimana adanya konstruksi sosial yang membagi masyarakat dengan berbagai kategori seperti ras, etnis, agama, kebangsaan, kelas sosial, dan berbagai kategori lainnya yang tentu saja dengan anggapan bahwan kelompok tertentu lebih memiliki kekuatan dan hak kekuasaan terhadap kelompok lainnya.
Sidanius dan Pratto mengemukakan setidaknya ada dua faktor yang melahirkan tatanan hirarki yang diskriminatif ini, pertama adalah adanya pengakuan dari ideologi, budaya, agama ataupun nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (hierarchy-enhancing ideologies). Sebagai contoh adanya sterotip, prasangka ataupun mitos yang diajarkan kepada masyarakat tentang bangsa Yahudi sebagai bangsa yang dimurkai oleh Tuhan karena perbuatan mereka di masa lalu, sehingga seolah-olah adalah wajar jika mereka diperlakukan secara buruk. Faktor kedua adalah adanya pengakuan dari insitusi ataupun lembaga pemerintah (hierarchy-enhancing institutional). Sebagai contoh dapat kita lihat salah satu aturan pemerintah di kota Lhokseumawe Provinsi Aceh yang melarang perempuan yang dibonceng untuk duduk mengangkang di sepeda motor. Aturan ini selain membahayakan keselamatan mereka dalam berkendaraan dapat dikatakan sebagai aturan yang mendiskriminasikan kaum perempuan yang cenderung dianggap sebagai kaum minoritas.
Namun sebenarnya kedua faktor tersebut bisa melemahkan struktur hirarki jika adanya para anggita hirarki yang melawan dan mengajarkan nilai-nilai keadilan di lingkungan sosialnya (hierarchy-attenuating ideologies) dan juga memperjuangakan dan membuat aturan-aturan yang tidak mendiskriminasikan kaum-kaum tertentu dengan menggunakan institusi yang ada di masyarakat (hierarchy-attenuating institutional). Maka itu, teori ini juga memperhatikan peran seorang individu dalam menyikapi sistem hirarki yang diskriminatif tersebut. Jika ternyata ia tidak berniat untuk mengubah sistem hirarki dan malah cenderung untuk mempertahankannya, maka ia sendiri dapat dikatakan sebagai orang yang berorientasi pada dominasi sosial.
Hal lain yang juga penting dilihat adalah Sidanius dan Pratto memfokuskan teori ini pada level kekuasaan intergrup, bukan pada level interpersonal. Maka itu, teori ini juga fokus pada bagaimana ide-ide yang ada di dalam masyarakat dilahirkan dan dijaga di dalam masyarakat itu sendiri. Jika Karl Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu, Gaetano Mosca menggunakan istilah formula politik, sedangkan Vilfredo Pareto memakai terminologi derivasi, dan Antonio Gramsci menggunakan kata hegemoni, maka pada pada teori ini Sidanius dan Pratto memilih menggunakan kata legitimizing myth (legitimasi mitos). Namun perbedaan pandangan kedua ilmuwan ini dengan pandangan Marx adalah bahwa mereka percaya jika ide-ide yang ada di dalam masyarakat tidaklah semuanya salah bahkan ide maupun kultur itu sendiri ternyata dapat digunakan untuk melawan struktur hirarki yang tidak adil. Maka itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teori ini juga melihat respon individu terhadap kultur ataupun ide yang ada karena hal itu sangat menentukan kuat dan lemahnya sistem hirarki di masyarakat.
Referensi:
Sidanius, Jim & Pratto, Felicia. (2012). Social Dominance Theory.
Hacker, Helen Mayer. (1951). Women as a Minority Group dalam Social Force 30 pp.60-69. Hunter College.

5 komentar:

  1. Bagus mbak tulisannya, bisa diperbaiki kesalahan penulisan seperti "anggita" (mungkin maksudnya, "anggota") dan "hirarki" (setahu saya penulisan yang benar adalah "hierarki")..
    Saran, mungkin bisa diberi contoh apa yang melemahkan hierarchy-enhancing ideologies dan hierarchy-enhancing institutional...

    BalasHapus
  2. Hi Mbak Sari, reviewnya keren dan mudah dimengerti.

    Dalam teori dominasi sosial, hierarki dapat menguat (hierarchy-enhanching) atau melemah (hierarchy-attenuating), keduanya dapat dipengaruhi oleh legitimizing myths dan social institutions. Kira-kira contoh untuk pelemahan hierarki dengan cara legitimizing myths itu gimana yah..? Karena hierarki yang sudah ada kan dibentuk oleh kelompok dominan, nah untuk melemahkan hierarki yang dibentuk oleh kelompok dominan itu dengan cara legitimizing myths itu aku belum kebayang contohnya

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Terima kasih teman-teman untuk masukannya,
    menjawab pertanyaan kalian berdua, saya akan mengambil konsep kontra hegemoni Gramsci sebagai salah satu contoh untuk melemahkan legitimizing myhts. Dalam hal ini, untuk membuka kesadaran masyarakat, diperlukan tokoh-tokoh intelektual organik. Mereka bisa saja dosen ataupun guru yang memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan masyarakat dan menyalurkan pemikiran yang mendukung keadilan dan toleransi bagi semua orang. Kaum intelektual ini biasanya tidak hanya masuk ke dalam dunia pendidikan, namun ia juga terlibat pada kegiatan-kegiatan sosial langsung di masyarakat sebagai contoh kegiatan pemberdayaan perempuan untuk menggunakan internet di berbagai desa.

    Sedangkan contoh untuk yang melemahkah hierarchy-enhancing institutional berarti adalah contoh hierarchy-attenuating institutional. Disisni saya mengambil konsep agensi Giddens yang berbicara tentang individu yang masuk ke dalam sistem dan berusaha mengubah sistem itu sendiri. Sebagai contoh adalah seorang perempuan masuk ke dalam struktur pemerintahan, misalnya DPR, dan dalam struktur itu ia berusaha untuk memperjuangkan undang-undang yang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan.

    Untuk yang hierarchy-enhancing institutional sudah saya berikan contoh diatas, yaitu tentang adanya undang-undang dari pemerintah di kota Lhokseumawe (sebagai institusi) yang melarang perempuan duduk mengangkang di sepeda motor.

    BalasHapus