Minoritas dan Teori Dominasi Sosial
Helen Mayer Hacker dalam tulisannya yang berjudul Women as a Minority Group mengambil
definisi yang dikemukakan oleh Louis Wirth untuk menjelaskan istilah kelompok
minoritas. Menurut Wirth, kelompok minoritas adalah sekelompok orang yang
karena fisik dan karakteristik budayanya dianggap berbeda dari masyarakat pada
umumnya sehingga mereka diasingkan serta diperlakukan dengan tidak sama dan
pada akhirnya kelompok ini menganggap diri mereka sebagai objek yang
didiskriminasikan (Wirth dalam Hacker:1951).
Salah
satu teori yang membahas permasalahan minoritas ini adalah Teori Dominasi
Sosial (TDS) yang diformulasikan oleh Jim Sidanius dan Felicia Pratto. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Social Dominance Theory (2012) oleh Sidanius dan Pratto, teori ini memaparkan bahwa manusia mengatur kehidupan
sosialnya dengan membuat kelompok-kelompok yang didasarkan pada struktur
hirarkis. Ada tiga sistem perbedaan kelompok yang
dijelaskan dalam teori dominasi sosial ini. Pertama adalah sistem umur, yaitu orang dewasa
maupun paruh baya memiliki kekuasaan lebih terhadap anak-anak ataupun remaja.
Kedua adalah sistem gender yang mengacu pada sistem patriarki dimana laki-laki
secara sosial maupun politik memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan
perempuan. Ketiga adalah sistem arbitrary
dimana adanya konstruksi sosial yang membagi masyarakat dengan berbagai kategori
seperti ras, etnis, agama, kebangsaan, kelas sosial, dan berbagai kategori
lainnya yang tentu saja dengan anggapan bahwan kelompok tertentu lebih memiliki
kekuatan dan hak kekuasaan terhadap kelompok lainnya.
Sidanius dan Pratto mengemukakan
setidaknya ada dua faktor yang melahirkan tatanan hirarki yang diskriminatif
ini, pertama adalah adanya pengakuan dari ideologi, budaya, agama ataupun
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (hierarchy-enhancing
ideologies). Sebagai contoh adanya sterotip, prasangka ataupun mitos yang
diajarkan kepada masyarakat tentang bangsa Yahudi sebagai bangsa yang dimurkai
oleh Tuhan karena perbuatan mereka di masa lalu, sehingga seolah-olah adalah
wajar jika mereka diperlakukan secara buruk. Faktor kedua adalah adanya pengakuan
dari insitusi ataupun lembaga pemerintah (hierarchy-enhancing
institutional). Sebagai contoh dapat kita lihat salah satu aturan pemerintah
di kota Lhokseumawe Provinsi Aceh yang melarang perempuan yang dibonceng untuk
duduk mengangkang di sepeda motor. Aturan ini selain membahayakan keselamatan
mereka dalam berkendaraan dapat dikatakan sebagai aturan yang
mendiskriminasikan kaum perempuan yang cenderung dianggap sebagai kaum
minoritas.
Namun sebenarnya kedua
faktor tersebut bisa melemahkan struktur hirarki jika adanya para anggita hirarki
yang melawan dan mengajarkan nilai-nilai keadilan di lingkungan sosialnya (hierarchy-attenuating ideologies) dan
juga memperjuangakan dan membuat aturan-aturan yang tidak mendiskriminasikan kaum-kaum
tertentu dengan menggunakan institusi yang ada di masyarakat (hierarchy-attenuating institutional). Maka
itu, teori ini juga memperhatikan peran seorang individu dalam menyikapi sistem
hirarki yang diskriminatif tersebut. Jika ternyata ia tidak berniat untuk mengubah
sistem hirarki dan malah cenderung untuk mempertahankannya, maka ia sendiri
dapat dikatakan sebagai orang yang berorientasi pada dominasi sosial.
Hal lain yang juga penting dilihat
adalah Sidanius dan Pratto memfokuskan teori ini pada level kekuasaan intergrup,
bukan pada level interpersonal. Maka itu, teori ini juga fokus pada bagaimana ide-ide
yang ada di dalam masyarakat dilahirkan dan dijaga di dalam masyarakat itu
sendiri. Jika Karl Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu, Gaetano Mosca menggunakan
istilah formula politik, sedangkan Vilfredo Pareto memakai terminologi derivasi,
dan Antonio Gramsci menggunakan kata hegemoni, maka pada pada teori ini
Sidanius dan Pratto memilih menggunakan kata legitimizing myth (legitimasi mitos). Namun perbedaan pandangan
kedua ilmuwan ini dengan pandangan Marx adalah bahwa mereka percaya jika
ide-ide yang ada di dalam masyarakat tidaklah semuanya salah bahkan ide maupun
kultur itu sendiri ternyata dapat digunakan untuk melawan struktur hirarki yang
tidak adil. Maka itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teori ini juga
melihat respon individu terhadap kultur ataupun ide yang ada karena hal itu
sangat menentukan kuat dan lemahnya sistem hirarki di masyarakat.
Referensi:
Sidanius, Jim
& Pratto, Felicia. (2012). Social
Dominance Theory.
Hacker, Helen
Mayer. (1951). Women as a Minority Group
dalam Social Force 30 pp.60-69.
Hunter College.
Bagus mbak tulisannya, bisa diperbaiki kesalahan penulisan seperti "anggita" (mungkin maksudnya, "anggota") dan "hirarki" (setahu saya penulisan yang benar adalah "hierarki")..
BalasHapusSaran, mungkin bisa diberi contoh apa yang melemahkan hierarchy-enhancing ideologies dan hierarchy-enhancing institutional...
Hi Mbak Sari, reviewnya keren dan mudah dimengerti.
BalasHapusDalam teori dominasi sosial, hierarki dapat menguat (hierarchy-enhanching) atau melemah (hierarchy-attenuating), keduanya dapat dipengaruhi oleh legitimizing myths dan social institutions. Kira-kira contoh untuk pelemahan hierarki dengan cara legitimizing myths itu gimana yah..? Karena hierarki yang sudah ada kan dibentuk oleh kelompok dominan, nah untuk melemahkan hierarki yang dibentuk oleh kelompok dominan itu dengan cara legitimizing myths itu aku belum kebayang contohnya
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih teman-teman untuk masukannya,
BalasHapusmenjawab pertanyaan kalian berdua, saya akan mengambil konsep kontra hegemoni Gramsci sebagai salah satu contoh untuk melemahkan legitimizing myhts. Dalam hal ini, untuk membuka kesadaran masyarakat, diperlukan tokoh-tokoh intelektual organik. Mereka bisa saja dosen ataupun guru yang memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan masyarakat dan menyalurkan pemikiran yang mendukung keadilan dan toleransi bagi semua orang. Kaum intelektual ini biasanya tidak hanya masuk ke dalam dunia pendidikan, namun ia juga terlibat pada kegiatan-kegiatan sosial langsung di masyarakat sebagai contoh kegiatan pemberdayaan perempuan untuk menggunakan internet di berbagai desa.
Sedangkan contoh untuk yang melemahkah hierarchy-enhancing institutional berarti adalah contoh hierarchy-attenuating institutional. Disisni saya mengambil konsep agensi Giddens yang berbicara tentang individu yang masuk ke dalam sistem dan berusaha mengubah sistem itu sendiri. Sebagai contoh adalah seorang perempuan masuk ke dalam struktur pemerintahan, misalnya DPR, dan dalam struktur itu ia berusaha untuk memperjuangkan undang-undang yang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan.
Untuk yang hierarchy-enhancing institutional sudah saya berikan contoh diatas, yaitu tentang adanya undang-undang dari pemerintah di kota Lhokseumawe (sebagai institusi) yang melarang perempuan duduk mengangkang di sepeda motor.