Minggu, 26 Februari 2017




Ringkasan Singkat Tentang Vieled Fantasies: Cultural and Sexual Difference in The Discourse of Orientalism
Kajian orientalisme yang dilakukan oleh Edward Said mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai pihak termasuk kritik yang dikemukakan oleh Meyda Yegenoglu. Ilmuwan Turki ini mempertanyakan konsep budaya dan perbedaan seks yang tidak dijelaskan dalam kajian orientalisme Said. Padahal menurut Yegenoglu, kedua konsep tersebut sangat penting untuk dibicarakan dalam kajian orientalisme terutama kaitannya dengan representasi perempuan timur oleh para kolonial. Sebagai tambahan juga, orientalisme disini perlu dipahami sebagai cara pandang masyarakat Eropa dalam memahami masyarakat Timur yang dalam kajiannya berisikan analisis tentang dunia Barat yang melahirkan pengetahuan dan memelihara fantasinya terhadap dunia Timur.
Dalam pandangan Yegenoglu, salah satu contoh tentang representasi gambaran perempuan timur oleh dunia barat adalah gambaran yang dilakukan oleh para penjajah Perancis terhadap kaum perempuan bercadar Aljazair. Bagi para penjajah, pakaian yang dikenakan oleh kaum perempuan ini adalah pakaian aneh yang tidak biasa mereka lihat di negaranya. Oleh karena itu, mereka menciptakan pandangan mereka sendiri terhadap perempuan-perempuan bercadar yang tidak hanya sebagai orang yang feminim, eksotis, misterius namun juga sebagai orang yang bersembunyi, bertopeng, dan penuh dengan tipu muslihat.
Gambaran-gambaran yang diberikan oleh kaum penjajah sebagai kelompok dominan ini menjadi doktrin yang diterima mentah-mentah oleh kebanyakan orang. Padahal pandangan buruk itu tidak lain disebabkan adanya rasa frustasi yang diderita oleh para penjajah Perancis karena terhalang untuk mengontrol perempuan secara visual. Sedangkan di satu sisi para perempuan tersebut dapat melihat para penjajah Perancis ini karena mereka membiarkan mata mereka terbuka. Potret penggambaran ini sebenarnya juga memiliki nuansa politis. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kolonialisme dimana salah satu cara untuk menguasai suatu wilayah adalah dengan menguasai para perempuannya. Namun ketika para penjajah Perancis tidak mampu menguasai para perempuan terutama terhadap kontrol visual, maka cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan gambaran dan fantasi yang merendahkan perempuan bercadar Aljazair sebagai orang yang dijajah.
            Fantasi-fantasi yang diberikan untuk perempuan ini juga sangat kejam. Dengan stigma sebagai manusia bertopeng yang penuh muslihat, maka dalam panggung-panggung drama ataupun film-film, para kolonial menayangkan perempuan bercadar sebagai objek yang hina, diperkosa, dipaksa untuk melepaskan cadarnya, dan juga diperlakukan sebagai makhluk asing yang harus dinormalisasikan atau diarahkan ke jalan yang “lurus”. Stigma ini pada akhirnya sering menjadi gambaran yang ditujukan kepada perempuan oriental atau perempuan timur pada umumnya.
             Selain itu, Yegenoglu juga menekankan pandangannya tentang perempuan Aljazair yang telah menjadi other dilingkungannya dan lebih menjadi other dengan apa yang dilakukan oleh para koloni penjajah. Menurut Yegenoglu, aturan-aturan terhadap cara berpakaian perempuan dilingkungannya telah menjadikan mereka sebagai other. Namun ketika para perempuan itu mendapatkan stigma atas pakaian yang dikenakannya, seperti mana yang baik dan mana yang buruk, maka hal itu telah lebih jauh lagi membuat perempuan menjadi other.
Hal ini juga menjadi perbedaan antara Yegenoglu dan Said. Yegenoglu memiliki gambaran yang berseberangan dengan Said mengenai representasi dari seorang perempuan terhadap perempuan lainnya. Jika Said menjelaskan bahwa memakai cadar adalah representasi dari perempuan, maka Yegenoglu menolak pernyataan itu. Menurutnya kita harus memahami antara budaya dan seks. Dalam hal ini berarti, perempuan bercadar adalah representasi dari dirinya sendiri atau budayanya, bukan representasi terhadap kaum perempuan pada umumnya.

Referensi:
Meyda, Yegenoglu. 1998. Colonial Fantasies: Toward a Feminist reading of Orientalism. Cambridge University Press. United Kingdom.

7 komentar:

  1. Mba mohon pencerahan ya.. Saya kurang paham dengan maksud dari pernyataan ini:
    "Jika Said menjelaskan bahwa memakai cadar adalah representasi dari perempuan, maka Yegenoglu menolak pernyataan itu. Menurutnya kita harus memahami antara budaya dan seks. Dalam hal ini berarti, perempuan bercadar adalah representasi dari dirinya sendiri atau budayanya, bukan representasi terhadap kaum perempuan pada umumnya".
    Thank you mba sari..

    BalasHapus
  2. Bahasan ini sebenarnya berhubungan dengan bahan bacaan tambahan pertemuan lalu mbak, Orientalism and Middle East Feminist Studiest. [1]
    Yang sempat saya catat, Lila Abu-Lughod (2011) mengkritisi studi yang dilakukan oleh Said ini. Lila Abu-Lughod mengatakan bahwa studi ini membawa pengaruh terhadap gender Timur Tengah dan kajian tentang perempuan, diantaranya:

    1. Bisa membuka kemungkinan bagi yang lain untuk mengeksplorasi wacana gender dan seksualitas orientalism itu sendiri,
    2. Memberikan alasan yang kuat untuk ekspansi penelitian sejarah dan antropologi yang melampaui stereotype mengenai wanita Muslim atau Timur Tengah,
    3. Memicu pemeriksaan ulang politik Timur atau Barat,
    4. Studi ini justru melanggeng stereotip aneh yang beredar dalam masyarakat Barat mengenai masyarakat Timur.

    Lila Abu-Lughod juga mengatakan bahwa Said tidak berfokus pada rezim yang menindas masyarakat Timur, khususnya kaum wanita meskipun dia mengkritik imperialism Barat dan kegagalan bangsa Timur.

    .

    Dan untuk pandangan Yegenuglu mengenai perempuan bercadar, menurut saya Yegenuglu masih sama dengan Said. Keduanya sama-sama melanggengkan anggapan negatif mengenai Timur, khususnya kaum perempuan. Tidak hanya itu juga, cadar kadang masih diidentikkan dengan teroris, misterius, aneh. Bahkan di negara kita Indonesia sendiri, orang-orang (yang pernah saya temui dan lihat) terkadang masih memandang aneh kepada perempuan bercadar.

    Terimakasih atas ilmunya mbak sari....

    [1] https://drive.google.com/file/d/0B_6JrlU59GvpdTBlMEVMRW00N28/view?usp=drive_web

    BalasHapus
  3. Ini seperti menegaskan kembali bahwa sejarah atau history itu milik lelaki ya, karena diwarnai dengan nada-nada agresi, penaklukan, penindasan. Tapi, nyatanya pelecehan atas nama penjajahan ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki penjajah atas perempuan-perempuan di negara jajahan mereka. Ada juga perempuan-perempuan yang melecehkan laki-laki yang menjadi tahanan mereka. (Bisa dilihat di : http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/israel/7949152/Israeli-soldier-puts-photos-of-blindfolded-Palestinians-on-Facebook.html) Jadi agaknya menurutku, di balik semua tindakan yang menjadi turunanannya, pemicu utamanya tetap ada pada insting tirani yang dimiliki manusia. Ga melihat lagi dia perempuan kah, dia laki-lakikah..kalau insting tirani sudah muncul dari dirinya,apalagi dilegitimasi dengan institusi seperti negara yang sedang menjajah negara lainnya, maka hal-hal yang kita anggap tak lazim pun bisa saja terjadi ya. Seperti halnya pelecehan pada perempuan aljazair tersebut..

    Hal yang menarik, seperti yang sudah disampaikan zaza di atas, yakni ada di paragraf terakhir tulisan ini. Tentang budaya dan seks. Nanti bisa lebih dinarasikan lagi mungkin ya sar, karena agaknya akan menarik deh itu :)

    BalasHapus
  4. Penjelasan yang sangat clear tentang pemikiran Yegenoglu. Hanya saja saya kok jadi teringat pada "peringatan" Gayatri Spivak ya.. jangan mudah me-representasi-kan.. Yegenoglu, aturan-aturan terhadap cara berpakaian perempuan dilingkungannya telah menjadikan mereka sebagai other.Apakah bagi perempuan Aljazair sendiri ini bukannya seperti yang dikemukakan Spivak, sebagai bentuk imperalisme gaya baru, yakni imperialisme kebudayaan (Cultural Imperialism)- sebagai penyeimbang pemikiran menarik juga untuk membaca pemikiran yang berisi tentang dampak kebijakan Perancis terhadap Aljazair tahun 1830- 1914 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30440/3/SILPIA%20UL'HAK-FAH.pdf

    BalasHapus
  5. Aku setuju dengan pendapat mba Hani, bahwa penjajahan tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi naluri tirani didukung oleh kapital tentunya.

    Perihal stigma perempuan bercadar, nampaknya masih berlanjut ya, terutama dikaitkan dengan bentuk antisipasi terorisme mengakibatkan semua yang atributnya kental dengan ke-Islaman menjadi sasaran geledah paling detil, termasuk perempuan bercadar. Ada artikel ini Sar, mungkin cukup menarik untuk dibaca..
    http://m.viva.co.id/berita/dunia/337556-tv-maria-wanita-bercadar-lawan-diskriminasi

    BalasHapus
  6. Mbak Sari dalam review-nya di atas menyatakan bahwa ‘konsep budaya dan perbedaan seks tidak dijelaskan dalam kajian orientalisme Edward Said.’ Menyikapi pernyataan tersebut, justru memunculkan kekhawatiran dan rasa penasaran dalam diri Saya, bahwa asumsi itu apakah hanya terdapat dalam bukunya Meyda Yeğenoğlu?, apakah mbak telah melakukan penelusuran di referensi-referensi lainnya?, karena jangan-jangan di referensi yang lain, ada data yang dapat menjelaskan hal tersebut. Mungkin di bukunya Edward Said yang berjudul ‘Orientalism’ (1978), bisa dijadikan sebagai pembanding dan penambah data tentang studi orientalisme.
    #041, #SIK041

    BalasHapus
  7. Review yang bagus dan menarik, Mba. Bacaan ini kan merupakan kritik Yegenoglu terhadap Edward Said mengenai orientalisme. Ada baiknya Mba Sari paparin sedikit bagaimana kajian orientalisme Timur Tengah yang dilakukan oleh Edward Said, sehingga bisa muncul kritik dari Yegenoglu.

    BalasHapus