Media dalam Kajian Budaya
Jika
kita menyalakan televisi saat ini, seakan-akan adalah hal lumrah ketika yang muncul
adalah sosok perempuan putih, langsing, tinggi, rambut lurus, menggunakan riasan dan tentu saja mereka
diidentikan sebagai perempuan yang cantik. Sedangkan laki-laki adalah mereka
yang bertubuh tinggi, putih, dengan potongan rambut tertentu dan disebut tampan. Apa yang
ditayangkan di media ini seolah-olah secara natural menjadi sebuah pembenaran
akan definisi cantik dan tampan. Berbanding terbalik, wajah-wajah dengan warna kulit gelap, berambut
keriting, jarang menghiasi televisi
Indonesia apalagi menjadi pemeran utama dalam sebuah sinetron. Hal ini salah satunya disebabkan mereka yang berada diluar kategori putih, tinggi, langsing sering
dianggap tidak cantik/tampan bahkan terkadang menjadi bulan-bulanan di
masyarakat. Tak kuasa menahan kekerasan verbal, banyak diantara mereka berusaha
untuk merubah tubuhanya dengan membeli berbagai produk yang mampu memutihkan
kulit, meluruskan rambut dan melangsingkan tubuh.
Dari ulasan singkat diatas kita bisa melihat bagaimana media berperan
besar sebagai pedagogi yang menuntun manusia untuk berpikir sesuai dengan apa
yang ditampilkan oleh media. Bagaimana cara kita memandang laki-laki dan
perempuan, bagaimana cara kita memandang perbedaan suku dan warna kulit, hal-hal
apa saja yang benar dan yang salah telah didikte oleh media yang menjadi hakim
ditengah-tengah masyarakat. Namun jika kita merenung dan berpikir kembali,
apakah semua yang ditampilkan oleh media itu adalah benar? Apakah yang ditampilkan
oleh media itu memang menyuarakan kepentingan publik? Apakah ada pihak-pihak
tertentu yang sebenarnya dirugikan oleh suara-suara yang muncul di media dan
sebaliknya adakah kelompok tertentu yang sangat diuntungkan? Dengan berpikir
kritis ini kita diharapkan dapat menyaring informasi yang disampaikan oleh
media (media literacy) yang mana dalam tulisan ini juga saya sebagai penulis
akan memberikan sedikit ulasan tentang kajian ilmu budaya yang berkontribusi dalam
memberikan perspektifnya untuk menyaring dan mengkritik media massa.
Douglas Kellner sebagai salah satu pakar kajian budaya
menjelaskan bahwa salah satu titik tolak utama studi ini adalah konsep multikulturalisme.
Disini multikulturalisme berbicara tentang bagaimana budaya-budaya dominan yang
kerap ditampilkan di media memarjinalkan kelompok-kelompok tertentu seperti
perempuan, masyarakat kulit hitam, kaum LGBT, dan berbagai kelompok minoritas
lainnya. Maka itu, untuk mengkaji lebih dalam lagi bagaimana media
merepresentasikan mereka, disini setidaknya ada tiga pendekatan yang bisa
digunakan sebagai kacamata analisis. Pendekatan pertama adalah pendekatan
Ekonomi Politik. Studi ini fokus pada hubungan-hubungan
sosial, terutama hubungan atau
relasi
kekuasaan yang memengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya dalam
hal ini informasi di media (Mosco,1996, hal 104-105). Dengan
menekankan pada isu-isu dominasi, ideologi, hegemoni dan transformasi sosial,
pendekatan ini berbicara tentang bagaimana budaya dikontrol budaya oleh berbagai
kelompok dominan untuk melanggenggkan kekuasaannya di dalam masyarakat. Tentu
saja biasanya pemilik media akan terus merajut hubungannya dengan para pembuat
regulasi yakni pemerintah agar bisnisnya dapat terus berjalan sesuai rencana.
Di sisi lain, pemerintah juga membutuhkan media untuk menyebarkan ideologinya
demi melanggengkan kekuasaannya. Dengan demikian informasi yang disajikan oleh
media sebenarnya sarat kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pendekatan kedua adalah analisis teks. Pada studi ini
kita dapat mengamati media baik melalui pendekatan kuantitatif maupun dengan
pendekatan kualitatif. Pada kuantitatif, kita dapat menghitung jumlah kata di
media yang bersifat diskriminatif ataupun mengandung kekerasan. Sedangkan pada
pendekatan kualitatif, kita bisa melakukan analisis dengan menggunakan berbagai
teori-teori yang kritis untuk melihat bagaimana media menggambarkan
subjek-subjek tertentu dan bagaimana gambaran itu menghasilkan makna tertentu
di masyarakat. Salah satu studi yang berhubungan dengan analisis teks ini
adalah semiotika. Melalui semiotika ini kita dapat melakukan investigasi
terhadap makna-makna yang tidak hanya tertulis, namun juga nonverbal seperti makna dari audio-visual yang ditayangkan di
berbagai media saat ini.
Pendekatan terakhir adalah penerimaan dan penggunaan
teks-teks budaya. Pendekatan ini melihat bagaimana masyarakat menerima
teks-teks yang ditampilkan oleh media dan memaknainya. Misalnya media sering
menayangkan sosok perempuan berada di dapur, maka pendekatan ini akan mengkaji
bagaimana persepsi masyarakat terhadap representasi akan peran perempuan
tersebut. Namun poin penting yang juga harus dipahami disini adalah bahwa
setiap orang memaknai teks tersebut secara berbeda. Hal ini tentu saja dikarenakan
adanya perbedaan budaya, ideologi, ras, kelas, dan pengalaman seseorang. Maka
itu, berbeda dengan teori kritis yang tidak melihat kelompok-kelompok yang resist, melalui pendekatan ini kajian
media juga mengkaji kaum-kaum tertentu yang melakukan perlawanan atas apa yang
ditampilkan oleh media.
Referensi:
Kellner, Douglas.
Cultural Studies, Multiculturalism, and Media Culture
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication Second Ed. SAGE:London.
Mba sari mohon pencerahannya, Aku kurang paham dengan paragraf terakhir yang mba sari tuliskan tentang perbedaan antara pendekatan penerimaan dan penggunaan teks-teks budaya dan pendekatan kritis mba..
BalasHapusSeperti yg mba tuliskan pendekatan penerimaan dan penggunaan teks-teks melihat bagaimana masyarakat menerima teks-teks yang ditampilkan oleh media dan memaknainya,tetapi yang harus dipahami disini adalah bahwa setiap orang memaknai teks tersebut secara berbeda dikarenakan adanya perbedaan budaya, ideologi, ras, kelas, dan pengalaman seseorang, kemudian pendekatan ini menjadi berbeda dengan teori kritis yang tidak melihat kelompok-kelompok yang resist.
Apakah teori kritis memang tidak mempertimbangkan hal-hal seperti faktor-faktor perbedaan budaya, ideologi, ras, kelas, dan pengalaman seseorang dalam memaknai sesuatu mba?
Thank you mba..
Mbak Sari, aku kurang paham dengan kalimat: "Dengan menekankan pada isu-isu dominasi, ideologi, hegemoni dan transformasi sosial, pendekatan ini berbicara tentang bagaimana budaya dikontrol budaya oleh berbagai kelompok dominan untuk melanggenggkan kekuasaannya di dalam masyarakat. "
BalasHapusMaksud dari budaya dikontrol budaya itu gimana ya?
Dan sama dengan Mbak Zaza, aku masih belum paham dengan paragraf terakhir. Apakah Cultural Studies bukan bagian dari teori kritis? dan apakah teori kritis memang tidak melihat kepentingan kelompok resist? Apa yang dilihat oleh teori kritis kalau begitu, yang membedakan dia dengan cultural studies.
Mohon penjelasannya mbak Sari.. Dan luruskan jika pemahamanku salah...
Terimakasih untuk ilmunya....
Menambahkan review Mbak Sari, ketiga pendekatan sebagai kacamata analisis kajian budaya tersebut lebih baik jika digabungkan agar analisis kajian budaya menjadi multiperspektif dan tidak berpihak pada satu sisi saja. Jadi melalui ekonomi politik kita melihat dari sisi latar belakang produksi media, melalui analisis tekstual kita membedah isi teks media nya, dan melalui penerimaan dan penggunaan teks-teks budaya kita dapat menganalisis dari sisi khalayaknya.
BalasHapusMencoba menjawab pertanyaan dari Mbak Zaza dan Mbak Lailiya, Kembali lagi ke akar dari cultural studies itu sendiri. Cultural studies merupakan bagian dari teori kritis, yang akarnya memang mengkritisi pemikiran Marxisme klasik. Bedanya, teori kritis lebih fokus ke dominasinya, sedangkan cultural studies fokus ke kelompok yang didominasi.
ikutan nimbrung diskusi.. merefer Eileen R. Meehan dalam Gendering the Commodity Audience (2002, dalam Kellner, 2005) pada 70-80-an kajian media terbagi dua antara yang klasik (cultural studies) dan klasik (seperti ekonomi politik Mosco). Nah, cultural studies yang awalnya klasik (bukan mengunakan pendekatan kritis ini) pada masa kepemimpinan Stuart Hall di The Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham Inggris mengantikan Richard Hoggart ini menjadi titik tolak pergeseran paradigma yang digunakan dalam kajian Cultural Studies. Jika semula pada awalnya cultural studies mengunakan paradigma kulturalisme sebagai paradigma yang dominan, maka sejak kepemimpinan Hall, paradigma dominan yang digunakan dalam cultural studies adalah paradigma kritis. Hal ini dikarenakan ketertarikan Hall pada pemikiran strukturalisme-nya Louis Althusser, Antonio Gramsci dengan konsep ‘hegemoni’-nya. Bisa dibaca dalam Cultural Studies: Two Paradigms (Stuart Hall) http://xroads.virginia.edu/~DRBR2/hall_1.pdf
BalasHapusPerkembangan strukturalisme ini kemudian menjadi post-strukturalisme, yang ditandai kajian John Fiske dengan konsep active audience (1987. Nah, di Amerika munculkan James Carey yang melihat budaya dari perspektif ‘ritual’, yaitu dengan menggunakan pendekatan interpretatif melihat kompleksitas teks dan berbagai respons pembaca yang sudah pasti berbeda-beda (1970). Pemikiran James Carey ini sejalan dengan kacamata Williams dan Hoggart (pendahulu Stuart Hall).
Kondisi di atas, agaknya makin carut marut dengan kondisi dunia penyiaran kita yang seolah tanpa peraturan ya. Kepemilikan media yang hanya dimiliki orang-orang tertentu, bahkan di antaranya juga terlibat dalam kancah politik, konten yang lebih banyak hiburan tanpa memiliki sisi edukasi, kapitalisme yang merajalela, dan ditambah dengan masyarakat atau audiens yang belum memiliki kemampuan literasi media yang baik. Mungkin, salah satu cara yang bisa kita lakukan sebagai insan komunikasi (halah apa pula ini) ya dengan tulisan-tulisan ini ya sar..tulisan yang mengajak orang untuk tidak menelan bulat-bulat apa yang disampaikan oleh media. Sambil berharap suatu saat nanti dunia penyiaran kita akan jauh lebih baik..dan orang bisa lebih bijak dalam menyampaikan dan menerima informasi dari dan untuk publik. Nice share, sar..
BalasHapusRupanya memang ada kaitannya media dengan budaya, ya Sar. Media itu bagaikan wujud yang merepresentasikan objek senyata-nyatanya dengan sudut pandang budaya populer. Semakin tersadarkan sih, bahwa pola pikir kita sekarang sudah sangat jauh terpengaruh oleh budaya populer yang dibawa oleh media, termasuk meminggirkan kelompok-kelompok dengan etnis, ras, suku, agama, kelas maupun indikator pengelompokan lain tertentu yang sifatnya tidak dominan -- TANPA KITA SADARI LHO. Ini yang dikatakan sama Hall, yang namanya rasisme inferensial itu. Sebenarnya bukan cuma rasis, tapi pengstereotipean terhadap karakter-karakter tertentu juga, secara halus sekali sampai-sampai kita merasa itu hal yang wajar dan alami. Ada ga ya, media yang bebas nilai di dunia ini, sifatnya super netral tanpa ada maksud tertentu dibelakangnya? ataukah media yang seperti itu hanya sebuah utopia saja..?
BalasHapusKetika menyalakan media televisi, kita kerapkali melihat sosok perempuan yang berkulit putih, langsing, tinggi, rambut lurus, dan menggunakan riasan, yang mana mereka diidentikan sebagai perempuan yang cantik. Lalu, laki-laki yang bertubuh tinggi, berkulit putih, dengan potongan rambut tertentu, maka disebut tampan. Kriteria perempuan cantik dan laki-laki tampan versi media ini, biasanya muncul di iklan dan sinetron, yang mana sejatinya hanyalah menjerumuskan mereka yang menonton, karena realita fisik sosok perempuan dan laki-laki sangat beragam di masyarakat. Pertanyaan Saya, bagaimana peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di dalam menyikapi dan memonitor produk media yang seringkali memunculkan sosok cantik dan tampan menurut versi media?, apakah KPI pernah melayangkan teguran? kalau iya, contohnya seperti apa?
BalasHapus#041, #SIK041