Minggu, 12 Februari 2017




Ulasan Singkat tentang Kajian Budaya
(oleh Sari Rahmani)

Buku kajian budaya yang berjudul Companion to Cultural Studies (Miller:2001), British Cultural Studies (Turner:2005), dan Cultural Marxism and Cultural Studies (Kellner) adalah buku yang menjelaskan secara rinci kepada para pembaca akan pandangan kajian budaya serta perbedaaanya dengan pandekatan Marxisme dan mazhab Frankfurt. Dalam tulisan singkat ini, saya akan memberikan sedikit ulasan bab satu dari ketiganya yang kiranya dapat mempermudah para pembaca untuk menyelami isi dari buku tersebut.

Toby Miller membuka tulisannya dengan memperkenalkan kajian budaya sebagai ilmu yang mengedepankan subjektivitas sehingga masyarakat tidak hanya dilihat sebagai konsumen dari sebuah budaya namun juga sebagai produsen akan nilai-nilai sosial dalam hal ini termasuk pula bahasa. Untuk analisisnya sendiri, kajian budaya ini adalah ilmu antar disiplin, maka itu ia juga merangkup ilmu-ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, hukum, sejarah, pendidikan, teknologi, dengan catatan ia tetap berfokus pada isu-isu gender, ras, seksualitas, kelas sosial, dan berbagai teori sosial lainnya yang memiliki komitmen untuk melakukan perubahan sosial. Disini juga Miller memperkenalkan para Bapak kajian budaya yang semuanya adalah para profesor dari berbagai universitas di Inggris seperti Richard Hoggart (senior di bidang pakar kajian budaya sekaligus pendiri Pusat Kajian Budaya Kontemporer (CCCS) di Universitas Birmingham), E.P Thompson, Raymond Williams, dan Stuart Hall.

Berbeda dengan Miller, Graeme Turner pada tulisannya tentang kajian budaya ini langsung masuk pada pembahasan tentang bahasa yang merujuk pada teori bahasa Ferdinand de Saussure. Dalam hal ini, bahasa dianggap sebagai mekanisme untuk mengkonstruksi suatu objek.  Menurut Saussure, sebuah kata sebenarnya terpisah dengan maknanya dan makna itu bukanlah sesuatu yang bersifat alami, namun ia merupakan sebuah kesepakatan yang dikontruksi oleh masyarakat. Maka itu bahasa dianggap sebagai sistem hubungan yang membangun berbagai kategori dan membedakan antara yang sama dan tidak sama. Tentunya dalam hal ini juga, budaya yang ada di masyarakat terus direproduksi dari sistem bahasa yang ada.

Menurut saya, poin penting sebenarnya Turner membahas bahasa di awal tulisannya adalah karena ia ingin menunjukkan bahwa disinilah letak perbedaan antara kajian budaya dengan pandangan Marxisme. Dalam pandangan Marxisme, budaya berada di suprastruktur yang berarti budaya ditentukan oleh basis material. Namun pada kajian budaya yang sering juga disebut dengan mazhab Birmingham, budaya yang direproduksi melalui sistem bahasa ini tidaklah sekedar ditentukan oleh hubungan ekonomi, namun banyak faktor-faktor lain yang menentukan seperti politik, sejarah, ideologi dan berbagai hal lainnya yang membuatnya terlihat lebih rumit. Bahkan Pengikut Marxis Althusser pun sepakat bahwa ideologi tidak hanya memproduksi budaya, namun ia juga membentuk kesadaran yang ada di masyarakat.

Sedangkan tulisan terakhir oleh Douglas Kellner sebenarnya lebih menyoroti perkembangan kajian budaya itu sendiri. Kellner juga menjelaskan bahwa pada dasarnya kajian budaya dan teori kritis Mazhab Frankfurt berakar dari pemikiran Karl Marx. Namun kajian budaya sendiri  akhirnya lebih merujuk kepada para pemikir kiri seperti Althusser dan Gramsci. Hal ini tidak lain dikarenakan ada perbedaan kacamata antara mazhab Frankfurt dan kajian budaya ini dimana kajian budaya juga memberikan perhatiannya kepada pihak oposisi yang menentang dominasi elit sedangkan Mazhab Frankfurt cenderung melihat pada sisi pengaruh kaum elit atau kaum dominan yang memiliki kekuasaan ataupun menguasai ekonomi (sebagaimana konsep industri budaya Theodor Adorno). Disini, mazhab Birmingham percaya bahwa kaum elit atau kaum dominan tidaklah mampu sepenuhnya untuk memaksakan kehendak mereka kepada semua masyarakat. Karena di dalam masyarakat tersebut ada berbagai orang yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh kaum elit ataupun kaum dominan tersebut. Maka itu pemikiran Gramsci mengenai hegemoni dan kontra-hegemoni lebih dirujuk dibandingkan dengan pemikir dari mazhab Frankfurt.

Referensi:
Turner, Graeme. (2005). British Cultural Studies. Taylor and Francis e-Library
Miller, Toby .(2001). Black Well Publisher. Oxford UK.
Douglas, Kellner. http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

5 komentar:

  1. Mantap mbak sari, tinggal tambah Hyperlink nya aja buat referensi

    BalasHapus
  2. Keren banget reviewnya, Mbak Sari. Mungkin di tulisan selanjutnya bisa dikasih keterangan untuk istilah-istilah seperti 'Marxisme', agar pembaca yang bukan dari ilmu sosial bisa lebih mengerti.

    BalasHapus
  3. Reviewnya bagus dan runtut. Saya pribadi mudah untuk memahami dengan membaca review ini.
    Hanya beberapa bagian mungkin yang perlu ditambahkan sumbernya (seperti pada paragraf ketiga).
    Selebihnya bagus mbak....
    Terimakasih ilmunya..

    BalasHapus
  4. Terima kasih semua atas masukannya

    BalasHapus
  5. Sekedar masukan, mungkin lebih bagus diberi judul tersendiri sehingga memberikan warna lebih dalam tukisan

    BalasHapus